Berdasarkan peraturan perpajakan di Indonesia, keluarga dianggap sebagai satu kesatuan ekonomi.
Ini berarti pemenuhan kewajiban perpajakan, seperti Pajak Penghasilan (PPh), pada dasarnya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, ada beberapa pilihan status kewajiban perpajakan bagi pasangan suami istri, yang masing-masing memiliki implikasi berbeda terhadap administrasi dan jumlah pajak yang harus dibayar.
Pilihan Status Kewajiban Perpajakan Suami Istri
Ada empat status kewajiban perpajakan yang diakui dalam sistem perpajakan Indonesia, yang biasanya dipilih saat mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan :
- Kepala Keluarga (KK)
Status ini merupakan pilihan yang paling umum dan dianggap sebagai default. Dalam status KK, kewajiban perpajakan istri digabungkan dengan suami. Istri tidak perlu memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sendiri dan tidak wajib melaporkan SPT Tahunan secara terpisah. Seluruh penghasilan keluarga dilaporkan dalam satu SPT atas nama suami sebagai kepala keluarga. - Pisah Harta (PH)
Status ini dipilih jika suami dan istri membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis di hadapan notaris. Dengan status PH, suami dan istri sama-sama memiliki NPWP sendiri dan wajib melaporkan SPT Tahunan masing-masing. Meskipun laporan terpisah, perhitungan PPh-nya tetap didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami dan istri. Total pajak yang terutang kemudian ditanggung secara proporsional sesuai dengan perbandingan penghasilan neto masing-masing. - Memilih Terpisah (MT)
Status MT terjadi ketika istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, meskipun tidak ada perjanjian pisah harta. Sama seperti PH, istri harus memiliki NPWP sendiri dan melaporkan SPT Tahunan terpisah. Metode perhitungannya pun sama dengan PH, yaitu penghasilan neto suami dan istri digabungkan terlebih dahulu untuk menghitung total PPh terutang, yang kemudian dibagi secara proporsional. - Hidup Berpisah (HB)
Status ini berlaku bagi suami istri yang telah berpisah berdasarkan putusan hakim (cerai). Dalam kasus ini, kewajiban perpajakan keduanya dihitung dan dilaporkan secara mandiri seolah-olah mereka adalah Wajib Pajak orang pribadi yang belum kawin.
Mana yang Lebih Menguntungkan: NPWP Gabung atau Pisah?
Keputusan untuk menggabungkan atau memisahkan NPWP memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Pilihan terbaik sangat bergantung pada kondisi keuangan dan kebutuhan administrasi setiap pasangan.
Secara umum, menggabungkan NPWP (status KK) lebih menguntungkan bagi sebagian besar pasangan suami istri. Berikut adalah perbandingan detailnya:
Aspek | NPWP Gabung (Status KK) | NPWP Terpisah (Status PH atau MT) |
Administrasi Pajak | Lebih Sederhana. Hanya suami yang wajib lapor SPT Tahunan. Ini mengurangi beban administratif | Lebih Rumit. Suami dan istri wajib memiliki NPWP dan melaporkan SPT Tahunan masing-masing |
Perhitungan Pajak | Pajak dihitung dari penghasilan suami. Jika istri bekerja pada satu pemberi kerja, pajaknya dianggap final dan tidak digabung, sehingga tidak menambah beban pajak suami | Penghasilan neto suami dan istri digabungkan untuk perhitungan pajak. Penggabungan ini berpotensi membuat penghasilan kena pajak masuk ke lapisan tarif progresif yang lebih tinggi |
Beban Pajak | Cenderung lebih rendah. Karena tidak ada penggabungan penghasilan yang mendorong tarif pajak lebih tinggi | Berpotensi lebih tinggi. Akibat penggabungan penghasilan, total pajak yang harus dibayar bisa menjadi lebih besar dibandingkan jika menggunakan status KK |
Cocok Untuk | Pasangan di mana istri tidak bekerja, memiliki penghasilan kecil, atau bekerja hanya pada satu pemberi kerja. Ideal bagi yang menginginkan administrasi praktis | Pasangan yang sama-sama memiliki penghasilan signifikan atau usaha sendiri dan ingin menjaga kemandirian finansial atau membutuhkan NPWP terpisah untuk urusan bisnis/kredit, meskipun berisiko membayar pajak lebih tinggi |
Mari kita buat ilustrasi perbandingan perhitungan pajak penghasilan (PPh) untuk status NPWP Gabung (KK) dan NPWP Terpisah (PH/MT). Ilustrasi ini akan menunjukkan mengapa status NPWP gabung sering kali lebih menguntungkan dari segi beban pajak.
Asumsi Dasar untuk Ilustrasi
Untuk memudahkan perbandingan, kita akan menggunakan asumsi berikut:
- Penghasilan Suami: Rp200.000.000 per tahun (dari satu pemberi kerja).
- Penghasilan Istri: Rp150.000.000 per tahun (dari satu pemberi kerja).
- PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak): Menggunakan status Kawin tanpa tanggungan (K/0) yaitu Rp58.500.000 (Rp54.000.000 untuk Wajib Pajak + Rp4.500.000 untuk istri).
- Tarif Pajak Progresif (UU HPP):
- 0 – Rp60 juta: 5%
- Rp60 juta – Rp250 juta: 15%
- Rp250 juta – Rp500 juta: 25%
- Rp500 juta – Rp5 miliar: 30%
- Rp5 miliar: 35%
Ilustrasi 1: NPWP Gabung (Status KK)
Dalam skenario ini, istri tidak memiliki NPWP sendiri dan kewajiban perpajakannya digabung dengan suami. Karena penghasilan istri berasal dari satu pemberi kerja, pajaknya dianggap final (sudah dipotong PPh Pasal 21 oleh perusahaan) dan tidak perlu digabungkan lagi dalam perhitungan SPT Tahunan suami.
Perhitungan Pajak di SPT Tahunan Suami:
- Penghasilan Kena Pajak (PKP) Suami:
- Penghasilan Bruto Suami: Rp200.000.000
- PTKP (K/0): Rp58.500.000
- PKP = Rp200.000.000 – Rp58.500.000 = Rp141.500.000
- Pajak Terutang (PPh) Suami:
Perhitungan pajaknya menggunakan tarif progresif:- Lapisan 1: 5% x Rp60.000.000 = Rp3.000.000
- Lapisan 2: 15% x (Rp141.500.000 – Rp60.000.000) = 15% x Rp81.500.000 = Rp12.225.000
- Total Pajak Terutang di SPT: Rp3.000.000 + Rp12.225.000 = Rp15.225.000
Dalam skenario ini, total pajak yang dilaporkan dalam SPT Tahunan keluarga adalah Rp15.225.000.
Ilustrasi 2: NPWP Terpisah (Status PH atau MT)
Dalam skenario ini, istri memiliki NPWP sendiri. Konsekuensinya adalah penghasilan neto suami dan istri harus digabungkan terlebih dahulu untuk menghitung total pajak, yang kemudian dibagi secara proporsional.
Perhitungan Pajak:
- Penghasilan Gabungan:
- Penghasilan Suami: Rp200.000.000
- Penghasilan Istri: Rp150.000.000
- Total Penghasilan Gabungan: Rp200.000.000 + Rp150.000.000 = Rp350.000.000
- Penghasilan Kena Pajak (PKP) Gabungan:
- Total Penghasilan Gabungan: Rp350.000.000
- PTKP (K/I/0 – untuk suami dan istri): Rp54.000.000 + Rp58.500.000 = Rp112.500.000
- PKP Gabungan = Rp350.000.000 – Rp112.500.000 = Rp237.500.000
- Total Pajak Terutang (PPh Gabungan):
- Lapisan 1: 5% x Rp60.000.000 = Rp3.000.000
- Lapisan 2: 15% x (Rp237.500.000 – Rp60.000.000) = 15% x Rp177.500.000 = Rp26.625.000
- Total Pajak Terutang Gabungan: Rp3.000.000 + Rp26.625.000 = Rp29.625.000
Total pajak yang harus dibayar oleh keluarga ini adalah Rp29.625.000, yang kemudian akan dibagi (diangsur) oleh suami dan istri secara proporsional sesuai penghasilan masing-masing.
Deskripsi | NPWP Gabung (KK) | NPWP Terpisah (PH/MT) |
Penghasilan Dilaporkan di SPT | Rp200.000.000 (Hanya Suami) | Rp350.000.000 (Gabungan) |
Penghasilan Kena Pajak (PKP) | Rp141.500.000 | Rp237.500.000 |
Total Pajak Terutang Keluarga | Rp15.225.000 | Rp29.625.000 |
Selisih Pajak | – | Lebih tinggi Rp14.400.000 |
Analisis:
Dari ilustrasi di atas, jelas terlihat bahwa kewajiban pajak dengan status NPWP Terpisah (PH/MT) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan NPWP Gabung (KK). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor utama:
- Penggabungan Penghasilan: Dengan NPWP terpisah, penghasilan suami dan istri digabungkan. Penggabungan ini mendorong total penghasilan kena pajak (PKP) masuk ke lapisan tarif progresif yang lebih tinggi (dalam contoh ini, masuk ke lapisan 15% dengan porsi yang lebih besar).
- Kehilangan Keuntungan PPh Final: Status NPWP terpisah menghilangkan keuntungan dari PPh Pasal 21 istri yang bersifat final. Seharusnya pajak istri sudah selesai di tingkat pemberi kerja, namun kini harus dihitung ulang bersama penghasilan suami.
Kesimpulan
Kesimpulannya, dari perspektif beban pajak, NPWP Gabung (status KK) hampir selalu menjadi pilihan yang lebih menguntungkan bagi pasangan suami istri, terutama jika istri bekerja sebagai karyawan di satu perusahaan.
Bagi kebanyakan pasangan suami istri, memilih status Kepala Keluarga (KK) dengan NPWP gabungan adalah opsi yang paling menguntungkan, baik dari sisi kemudahan administrasi maupun dari sisi beban pajak yang cenderung lebih ringan.
Namun, status Pisah Harta (PH) atau Memilih Terpisah (MT) tetap menjadi pilihan yang valid bagi pasangan yang memprioritaskan otonomi finansial atau memiliki kebutuhan administratif khusus yang mengharuskan kepemilikan NPWP terpisah. Pasangan yang memilih opsi ini harus siap dengan administrasi yang lebih kompleks dan potensi beban pajak yang lebih tinggi.